Sulitkah Menerima Kenyataan?
Na hi pāpaṁ kataṁ kammaṁ, sajju khῑraṁ’va muccati.Dahantaṁ bālamanveti, bhasmacchano’va pāvako.Akibat dari perbuatan buruk tidak segera berbuah, seperti susu yang perlahan-lahan menjadi asam setelah diperah. Demikian pula, penderitaan akan membakar orang bodohseperti bara api yang tertutup oleh abu.(Dhammapada V:12)
Dalam kehidupan ini tidak semua kenyataan dapat kita terima dengan mudah. Karena dalam kehidupan kita, ada dua kenyataan yang akan kita terima/rasakan, yaitu: kenyataan yang sesuai dengan harapan kita dan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan kita. Dari dua hal ini, kita akan lebih mudah untuk menerima kenyataan yang sesuai dengan harapan kita, daripada kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan kita. Sebagai akibatnya, ketika kita tidak mampu menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan kita, kita akan menjadi menderita. Dalam banyak kasus seperti stress berat, hilang ingatan, sampai bunuh diri, sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menerima kenyataan yang tidak diharapkan.
Sesungguhnya kita semua memahami bahwa ketika kita tidak mampu menerima kenyataan, yang tidak sesuai dengan harapan, kita akan menjadi menderita, tetapi mengapa kita masih sulit menerima kenyataan ini? padahal jelas-jelas hal ini menimbulkan derita. Inilah yang disebut dengan ketidak-tahuan/kebodohan batin kita. Karena ketidaktahuan, maka kita masih terbelenggu oleh konsep AKU dan ketidaktahuan juga membuat kita sulit lepas dari cengkraman hawa nafsu (ta?h?). Dari konsep Aku dan nafsu keinginan (ta?h?) inilah, yang menjadi penyebab kita sulit untuk menerima kenyataan yang tidak diharapkan.
1. Konsep Aku
Dalam diri kita, konsep aku yang telah tertanam dan mengakar kuat menjadikan kita sulit untuk menerima kenyataan. Karena ketika ada konsep aku, kita akan dengan mudah mengklaim sesuatu sebagai milikku, seperti konsep ini sandalku, ini sepatuku, dan apa yang terjadi andaikan sandalku atau sepatuku itu hilang, bisakah kita menerima kenyataan ini? Tentu tidak mudah. Inilah yang dimaksud selama ada konsep aku, maka kita sulit menerima kenyataan yang tidak diharapkan.
2. Nafsu Keinginan (ta?h?)
Selain konsep aku, nafsu keinginan juga menjadikan kita sulit untuk menerima kenyataan, karena nafsu keinginan selalu mengarahkan untuk mencari kesenangan-kesenangan. Dari kebiasaan yang selalu menuruti kesenangan menimbulkan kecenderungan untuk sulit menerima yang tidak menyenangkan. Seperti hal seseorang yang terbiasa hidup enak kemudian hidup susah, tentu akan tidak mudah untuk menerima kenyataan ini.
Nafsu keinginan juga memiliki kecenderungan untuk tidak mau berpisah dengan yang menyenangkan, sehingga selama seseorang masih diliputi nafsu keinginan, selama itulah, ia akan sulit menerima kenyataan yang tidak diharapkan.
Agar kita dapat menerima kenyataan yang tidak diharapkan, tentu dengan membebaskan diri dari konsep Aku dan juga membebaskan diri dari cengkraman nafsu keinginan. Karena ketika kita sudah membebaskan diri dari konsep aku dan nafsu keinginan, kita dapat menerima kenyataan sebagai mana adanya dan tidak lagi memihak antara yang diharapkan dan yang tidak diharapkan.
Tetapi untuk saat ini kita belum bebas dari konsep aku dan nafsu keinginan. Agar dapat menerima kenyataan yang tidak diharapkan andaikata datang adalah dengan:
1. Memahami Hukum Sebab-Akibat
Dengan memahami hukum sebab-akibat kita akan jelas bahwa apapun yang muncul, sesungguhnya adalah akibat dari sebab/ kondisi sebelumnya. Karena tanpa sebab tidak mungkin ada akibat, sebagai contoh; kematian, kematian ada karena ada kondisi sebelumnya yaitu kelahiran. Apa yang kita terima sekarang yang tidak kita harapkan, juga merupakan akibat dari apa yang pernah kita lakukan. Perbuatan yang kita lakukan meliputi perbuatan di masa lampau dan juga perbuatan di masa sekarang ini.
Ketika kita telah memahami hukum sebab-akibat ini, kita akan merasa tidak begitu sulit lagi menerima kenyataan yang tidak diharapkan. Jadi pada dasarnya apa yang kita peroleh tidak terlepas dari perbuatan kita sendiri. Dalam Abhinhapacavekkhana dinyatakan Ya? kamma? kariss?mi, kaly??a? v? p?paka? v?, Tassa d?y?do bhaviss?mi artinya: perbuatan apapun yang kulakukan, baik atau pun buruk, perbuatan itulah yang akan kuwarisi.
2. Mempraktikkan Dhamma
Mempraktikkan Dhamma ini meliputi praktik dana, praktik sila dan praktik meditasi. Dengan sering praktik Dhamma ini, kita berarti telah berusaha untuk latihan mengkondisikan diri, agar dapat menerima kenyataan yang tidak diharapkan dengan cukup mudah. Karena dengan praktik Dhamma ini kita melatih batin menjadi terkendali. Batin yang terlatih dan terkendali secara perlahan tidak lagi asing ketika bertemu dengan kenyataan yang tidak diharapkan.
Seperti praktik berdana selain berbuat baik, sesungguhnya juga melatih diri kita, agar mampu menerima kenyataan. Karena pada saat member, ada sesuatu yang berpisah dari diri kita yaitu benda yang kita berikan. Kalau kita sudah terlatih melepaskan milik kita, tentu kita juga akan mudah menerima kenyataan.
Demikian juga dengan praktik sila dan meditasi juga mengkondisikan diri, agar kita siap, jika kenyataan yang tidak diharapkan datang. Karena setiap kita praktik sila maupun meditasi kita sudah sering bertemu dengan kenyataan yang tidak diharapkan seperti kalau dalam meditasi, kaki kita kesemutan terus kita bisa tahan. Ini juga latihan bertemu dengan yang tidak diharapkan. Jadi dengan praktik Dhamma kita akan menjadi orang yang mudah menerima kenyataan, baik kenyataan yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Semoga dengan memahami ini kita dapat menerima segala kenyataan sebagai mana adanya, sehingga kita tidak lagi menderita, dan akhirnya kita bisa hidup bahagia.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.