Mengapa Sulit Tidur Nyenyak?
-
Pernyataan yang sudah sangat lumrah dan umum kita dengar di masyarakat yang dialamatkan kepada orang tertentu atau mungkin saja tentang diri sendiri. Pernyataan itu adalah ‘Apakah tadi malam Anda bisa tidur nyenyak?’ atau ‘Saya saat itu tidak bisa tidur nyenyak!’, dsb. Mengapa sebagian orang cepat bisa tidur dan justru tidurnya nyenyak? Tetapi mengapa pula sebagian orang malah sulit tidur, tidur sebentar saja sulit, apalagi mau tidur pulas atau tidur nyenyak yang seharusnya bisa lama, malah lebih sulit. Apa sebabnya? Mari kita cermati penjabaran berikut ini dengan baik.
Tidur Tidak Nyenyak Bisa Terjadi
Dalam kebiasaan hidup sehari-hari, sesungguhnya sangat kentara banyak orang mengalami kesulitan jika sudah waktunya seharusnya tidur, tetapi justru bukan tidur melainkan berpikir terus, berpikir terus, ingin tidur, ingin tidur, ingin tidur, tapi tidak bisa tidur. Bahkan ada orang tertentu justru meskipun badan berbaring yang katanya sedang tidur, ia melakukan sesuatu yang lain seperti melamun terasa sedang bermimpi, padahal asyik berpikir aktif. Ada juga yang punya alasan wajar rasanya hawa panas tidak bisa tidur, hawa dingin tidak bisa tidur, pikiran ingat hutang tidak bisa tidur, ingat pacar tidak bisa tidur, ingat simpanan uang yang banyak tidak bisa tidur, dalam situasi menyeramkan tidak bisa tidur, dan banyak lagi hal-hal lain yang ‘terjadi’ sehingga tidak bisa tidur. Jika kita menyimak kata ‘terjadi’ di sini bisa diartikan sebagai bukan yang nyata-nyata terjadi hawa panas, hawa dingin, dsb, namun karena tanggapan pikiran kita yang selalu dan terlalu negatif (buruk) terhadap apa pun kenyataan yang terjadi di luar diri kita. Jika ini yang terjadi, maka kapan saja pikiran bisa gelisah, takut, was-was, khawatir, dsb, sehingga tidak dapat tidur bahkan juga tidak enak makan. Kalau tidur saja tidak bisa, bagaimana mau tidur nyenyak, tentu tidak mungkin terjadi. Kita sangat pasti bisa mengerti sebab-sebabnya sebagaimana diterangkan di atas.
Kisah Tidur Nyenyak dalam Sutta
Menurut cerita yang dapat kita petik dari A?guttara Nik?ya III.34, dikatakan bahwa ada sebuah dialog antara Sang Buddha dengan putra raja Alavi bernama Hatthaka, yang membicarakan tentang ‘tidur nyenyak’, sebagai berikut:
Hatthaka (H): “Yang mulia, apakah Bhante telah tidur nyenyak?”
Buddha (B): “Ya, pangeran, aku telah tidur nyenyak. Di antara mereka di dunia yang selalu tidur nyenyak, akulah salah satunya.”
H: “Tetapi, Bhante, malam-malam musim dingin ini sungguh dingin dan ini adalah minggu penuh es. Betapa kerasnya tanah yang telah diinjak-injak ternak, betapa tipisnya tebaran daun, betapa jarangnya daun di atas pohon, betapa jubah cokelat seorang bhikkhu dan betapa dinginnya angin yang bertiup. Walaupun demikian, Yang Terberkahi mengatakan bahwa Yang Mulia tidur nyenyak dan bahwa Yang Mulia adalah salah satu di antara mereka di dunia yang selalu tidur nyenyak.”
B: “Pangeran, sekarang akan kuajukan pertanyaan tentang hal ini dan engkau boleh menjawab menurut pendapatmu. Bagaimana pendapat pangeran tentang hal ini? Misalnya ada seorang perumah-tangga atau putra seorang perumah-tangga yang tinggal di rumah dengan atap yang tinggi, diplester luar dalam, terlindung dari angin, dengan pintu yang dikunci dan jendela tertutup. Dan ada tempat tidur di rumah, yang ditutupi permadani wol hitam dengan bulu panjang, dengan sprei wol putih, penutup ranjang yang berhias bunga, dibentangi kulit rusa yang sangat indah, dengan tirai di atas bagian kepala dan bantal merah menyala di kedua ujungnya. Juga ada lentera yang menyala di sana dan empat istri melayaninya dengan baik. Bagaimanakah pendapat pangeran: apakah orang itu akan tidur nyenyak atau tidak, atau bagaimana?”
H: “Dia pasti akan tidur nyenyak, Bhante. Dia akan menjadi salah satu dari mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.”
B: “Bagaimana pendapatmu, pangeran? Apakah tidak mungkin di dalam diri perumah-tangga atau putra perumah-tangga itu ada rasa kesal pada tubuh atau pikirannya, yang disebabkan oleh nafsu, kebencian dan kebodohan batin yang menyiksanya sehingga dia tidak dapat tidur nyenyak?”
H: “Mungkin saja demikian, Bhante.”
B: “Nah, pangeran, nafsu, kebencian dan kebodohan batin yang menyiksa perumah-tangga itu, yang menyebabkan dia tidak dapat tidur nyenyak, telah ditinggalkan oleh Sang Tathagata, terpotong di akarnya, dibuat gersang seperti tunggul-punggur pohon palem, terhapus sehingga mereka tidak lagi bisa muncul di masa mendatang. Oleh karena itulah, pangeran, aku telah tidur nyenyak.” (AN. III.34)
Tidur Nyenyak itu Tergantung Pikiran
Ada pun hal lain sebagaimana disebutkan dalam A?guttara Nik?ya XI.16, bahwa tidur dengan tenang atau tidur nyenyak itu dapat terjadi pada seseorang jika ia memiliki cinta kasih kepada sesama makhluk di sekelilingnya. Bahkan dikatakan dalam sutta ini juga bahwa orang yang memiliki dan memancarkan cinta kasih kepada para makhluk yang tampak maupun tak tampak, akan memperoleh sebelas berkah: tidur dengan tenang, tidak bermimpi buruk, dicintai oleh manusia, dicintai oleh makhluk selain manusia, akan dilindungi oleh para dewa, tidak bisa terluka senjata, api dan racun, pikiran mudah terkonsentrasi, kulit wajah jernih, tidak gelisah jika meninggal, jika tidak menembus lebih tinggi akan terlahir di alam brahma.
Dari kisah dialog tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa pikiran kita yang kotor dengan berbagai gangguan konsep atau pandangan kita sendiri, adalah yang membuat ketegangan dalam pikiran sendiri danmenimbulkan ketidaktenangan sehingga tidur pun terganggu.
Namun, dalam A?guttara Nik?ya XI.16 seperti tersebut di atas, pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih akan secara pasti menimbulkan ketenangan dan bukan kegelisahan dan ketegangan pikiran. Memang kekuatan dari pikiran penuh cinta kasih akan sangat berpengaruh terhadap suasana kehidupan seseorang di tengah masyarakat luas. Dengan demikian, pikiran yang terkotori oleh nafsu, kebencian dan kebodohan batin pada seseorang adalah penyebab bagi dirinya sulit tidur dan tentu tidak mungkin bisa tidur nyenyak. Namun, sebaliknya cinta kasih yang menyertai seseorang dalam aktivitas sehari-harinya akan membawa pengaruh sangat luas terhadap dirinya dan semua makhluk di sekelilingnya.
Berbahagialah bagi Anda yang memiliki dan mengembangkan cinta kasih untuk kedamaian dan kebahagiaan hidupnya.
Sabbe satt? bhavantu sukhitatt?
Sumber:
Petikan A?guttara Nik?ya, Klaten, Maret 2003