MENGALAHKAN KEKOTORAN BATIN SENDIRI
Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik, serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan jalan yang telah dibabarkan oleh para suci.(Dhammapada 281)
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samm?sambuddhassa
Hal yang paling berharga dalam hidup adalah kedamaian batin. Hal yang paling sulit untuk ditaklukkan adalah diri sendiri. Hal yang paling mudah untuk dikomentari adalah keburukan atau kesalahan orang lain.
Menaklukkan diri sendiri atau mengubah perilaku sendiri sangat sulit dibandingkan dengan berbuat baik. Orang pada umumnya tidak bisa melakukan perubahan yang lebih baik dikarenakan tidak ada niat yang baik untuk mengubahnya. Soal mudah atau sulitnya terletak pada niat dia mengubah. Apa yang harus dilakukan dalam kehidupan? Tiada lain adalah melatih diri dengan benar. Para bhikkhu yang baru diupasampada, bhikkhu yang sudah Thera atau bhikkhu Mahathera, tetap harus “BERLATIH”. Umat biasa (perumah tangga), umat yang sudah di-Visudhi up?saka/up?sik? (yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, Sangha, dan menerima lima latihan sila) yang baru atau yang sudah lama, tetap harus “BERLATIH”. Makhluk suci Sotapanna, Sakadagami, Anagami juga masih berlatih, kecuali seseorang yang sudah menjadi Arahat.
Membina diri adalah kewajiban kita sebagai umat Buddha. Kita harus selalu sadar bahwasanya hidup sangat singkat, waktu untuk melakukan kebaikan sangat sedikit. Tentu kita tidak tahu usia kita panjang atau pendek, yang pasti rata-rata hidup manusia zaman sekarang ini adalah 75 tahun. Apabila kurang dari itu bagaimana?
Apa yang harus kita latih dalam mengalahkan kotoran batin kita sendiri?
Hal yang sangat penting kita lakukan adalah “menjaga pikiran kita dengan penuh kewaspadaan”. Pikiran bisa menjurus pada dua persepsi. Persepsi yang negatif dan persepsi positif. Layaknya seperti dalam Dhammapada Yamaka Vagga, ayat 1, 2:
“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya”.
“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya”.
Di sisi yang lain, Ajahn Chah memberikan sebuah perumpamaan sebagai berikut:“Melatih pikiran adalah sebuah kegiatan yang berguna. Kamu dapat melihat peristiwa ini bahkan dalam hewan pekerja, seperti gajah, lembu, dan kerbau. Sebelum kita dapat membuat mereka bekerja, kita harus melatih mereka terlebih dahulu. Hanya ketika mereka telah terlatih dengan baik, kita dapat menggunakan kekuatan mereka dan mempekerjakan mereka untuk berbagai tujuan. Kalian semua tentu mengetahui hal ini. Pikiran yang terlatih dengan baik memiliki nilai berlipat kali lebih besar. Lihatlah pada Sang Buddha dan para siswa muliaNya. Mereka merubah status mereka dari orang biasa menjadi orang yang dimuliakan, dan dihargai oleh semua orang. Mereka telah memberikan manfaat kepada kita dalam cara yang lebih luas daripada yang dapat kita temukan. Semua ini datang dari kenyataan bahwa mereka telah melatih pikiran mereka dengan baik. Pikiran yang terlatih dengan baik sangat berguna bagi setiap pekerjaan. Pikiran yang terlatih memungkinkan kita untuk melakukan pekerjaan dengan hati-hati. Pikiran tersebut membuat kita lebih bijaksana daripada menuruti emosi, dan memungkinkan kita untuk mengalami sebuah kebahagiaan yang sesuai dengan lingkungan kita dalam kehidupan”.
Dengan menjaga pikiran, kita sudah berupaya untuk tidak merusak moral sendiri, menambah kekotoran batin sendiri, membuat orang merasa dirugikan tetapi seyogyanya kita mengurangi sifat-sifat yang buruk serta melakukan hal-hal yang berguna untuk masa depan.
Menjaga ucapan/perkataan
Tindakan kita tidak bisa terlepas dari yang namanya berbicara. Tidak ada orang yang tidak pernah berbicara, kecuali orang yang cacat secara fisik. Namun, perluasan dari berbicara yaitu komunikasi, tentunya pasti dilakukan oleh setiap orang entah melalui tulisan, isyarat, maupun ucapan. Ada pepatah mengatakan bahwa “ucapan itu lebih tajam daripada pisau”. Dalam Saccavibha?ga Sutta, Majjhima Nik?ya, ada empat kriteria ucapan yang salah, yaitu ucapan yang kasar, ucapan gosip, perkataan memfitnah, dan perkataan yang tidak berfaedah. Ucapan yang salah bisa mengakibatkan permusuhan, tersinggung, sakit hati, dan bisa bunuh diri.
Menjaga ucapan merupakan bentuk dari menaklukan diri sendiri. Saat kita berbicara atau berkomunikasi dengan keluarga dan sahabat, maka dibutuhkan perhatian saat berkomunikasi. Berbeda sekali saat berkomunikasi dengan orang tua. Seperti yang Sang Buddha katakan: “Jika ucapan memiliki lima tanda, berarti ucapan itu disampaikan dengan baik, tidak disampaikan dengan buruk, tak ternoda, dan tak tercela oleh para bijaksana. Apakah kelima tanda ini? Itulah ucapan yang tepat waktu, benar, lembut, bertujuan, dan diucapkan dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih.” (A?guttara Nik?ya V, 198)
Menjaga tindakan jasmani
Ada tiga tindakan lewat tubuh jasmani, yaitu menghindari diri dari pembunuhan makhluk hidup, menghindari diri dari pencurian, dan menghindari diri dari berbuat asusila. Menurut ajaran Buddha, suatu perbuatan itu dikatakan baik atau buruk tergantung pada keadaan pikiran pelaku saat perbuatan tersebut dilakukan. Jadi, kriteria dasar etika Buddhis bukanlah teologis, melainkan psikologis. Dalam tataran praktis, ada tiga azas untuk mengetahui dan mendata siapa yang baik dan yang buruk.
Ketiga azas tersebut meliputi:
Azas tujuan adalah mengetahui suatu perbuatan baik atau buruk berdasarkan pada tujuan. Tujuan akhir Buddhis adalah Nibb?na, yaitu lenyapnya nafsu (keserakahan, kemelekatan) lenyapnya kebencian, dan lenyapnya kebodohan (ketidaktahuan, kekelirutahuan) [Jambukh?daka-sa?yutta, SN 38.1].
Berdasarkan hal ini, maka apabila kita melakukan suatu perbuatan yang dapat melemahkan nafsu, kebencian, dan kebodohan, maka perbuatan tersebut dikatakan baik, seperti berdana dan membantu tetangga sekitar. Suatu perbuatan dikatakan netral apabila tidak menambah serta tidak pula melemahkan nafsu, kebencian, dan kebodohan. Contoh perbuatan netral adalah berjalan, berpikir mengenai asal muasal alam semesta, dan tidur.
Azas hasil akibat adalah mengetahui suatu perbuatan baik atau buruk berdasarkan hasil akibat suatu perbuatan. Sang Buddha mengatakan, “Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang menyesal dan akibatnya membuat ratapan dan air mata, maka perbuatan itu tidak baik. Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, berakibat kegembiraan dan kepuasan, maka perbuatan itu baik”. [Dhammapada. 67-68]
Azas universalitas adalah mengetahui suatu perbuatan baik atau buruk berdasarkan penerimaan secara umum, yaitu bahwa semua manusia menghindari dan tidak ingin menderita dan semua orang mendambakan kebahagiaan. Hal tersebut berarti kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang membuat saya menderita berarti orang lain juga tidak ingin. Jadi, azas universalitas ini berarti bahwa kita seharusnya tidak melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan orang lain lakukan kepada diri kita. Azas-azas tersebut semuanya sebagai panduan kita.
Dalam menilai perbuatan kita sendiri, bukan menilai atau menghakimi perbuatan orang lain. Pada dasarnya, semua perbuatan baik bersumber dari kehendak atau niat kita. Selama bersumber dari niat-niat negatif, jelas perbuatan tersebut dikatakan perbuatan buruk, sebaliknya juga demikian.
Sebagai kesimpulan bahwa, semua makhluk ingin kehidupannya lebih damai dan sejahtera, seyogyanya kita harus menjaga perbuatan lewat tubuh jasmani, perkataan, dan pikiran setiap saat. Bahkan dengan melaksanakan perbuatan baik lewat pikiran, ucapan, dan tindakan jasmani tersebut, kekotoran batin kita akan semakin berkurang.
Referensi:
1) Dhammapada Atthakatha
2) Perbuatan Benar
3) 108 Perumpamaan Dhamma