x

KETIKA HIDUP TERASA SULIT

Bhadropi passati papam, yava bhadram na paccati.
Yada ca paccati bhadram, atha bhadrani passati

Pelaku kebaikan menganggap kebaikan adalah hal buruk sepanjang kebaikan belum masak. Tatkala kebaikan masak, ia akan menyadarinya sebagai hal baik.
(Dhammapada 120)


    DOWNLOAD AUDIO

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

Menjalani kehidupan sebagai manusia adalah sulit. Anak tidak lulus ujian, tidak diterima kerja, dimarahi atasan, tidak dipercaya lagi sama orangtua dan kerabat, mendapat tuduhan palsu, tiba-tiba dimaki orang, kehilangan harta benda, sahabat membawa kabur uang yang dikumpulkan bertahun-tahun, anggota keluarga harus berurusan dengan hukum, kehilangan orang yang disayangi, hingga divonis dokter mengidap penyakit kronis. Kesulitan-kesulitan itu hanyalah beberapa contoh dari banyaknya kesulitan dan permasalahan yang membawa pada kekecewaan, putus asa dan penderitaan. Lalu apakah kesulitan-kesulitan itu hanya terjadi pada kehidupan saat ini? Lebih dari 2600 tahun yang lalu, sebetulnya Sang Buddha sudah menjelaskan bahwa kehidupan manusia itu sulit (Dhp. 182) kiccham maccana jivitam (adalah sulit, kehidupan makhluk fana). Bahkan pada Pemutaran Roda Dhamma Pertama di dalam Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56.11) Buddha menjelaskan kelahiran adalah penderitaan (Jatipi dukkha).

Jadi tidak hanya pada kehidupan saat ini saja ditemukan penderitaan. Pada masa lampau juga ditemukan kesedihan karena berpisah dengan yang dicintai. Patacara harus menderita karena ditinggal keluarga yang dicintai, pagi hari suaminya meninggal, siangnya kedua anaknya meninggal, dan malamnya mendengar bahwa kedua orangtuanya juga meninggal. Patacara mengalami penderitaan begitu berat hingga berlaku layaknya orang gila (Dhp. Atthakatha 113). Kehidupan tragis juga dialami Raja Bimbisara, anak yang dibesarkan dengan kasih sayang yaitu Pangeran Ajatasattu, justru menghancurkan kehidupannya yaitu dengan cara memenjarakan hingga meninggal di dalam tahanan. Sang Buddha menjelaskan jika Raja Ajatasattu tidak membunuh Ayahnya akan mampu menembus Dhamma, Samannaphala Sutta (DN 2). Tuduhan palsu juga sudah ada sejak masa lampau. Karena didasari rasa iri akan kemashyuran, kehormatan dan perolehan, Cincamanavika menuduh Sang Buddha menghamilinya (Dhp. Atthakatha 176). Begitu juga penyakit juga menyerang manusia pada masa lampau. Adik kandung Yang Mulia Anuradha, Putri Rohini mengalami penyakit yang mengerikan yaitu menderita penyakit kusta (Dhp. Atthakatha 221).

Dengan melihat kisah-kisah tersebut ternyata penderitaan karena ditinggal orang yang dicinta, anak memenjarakan orangtuanya, anak membunuh orangtuanya, mendapatkan tuduhan palsu dan berbagai penyakit sudah ada sejak waktu yang lama. Walaupun orang-orang tersebut mengalami penderitaan, tetapi berakhir dengan bahagia. Raja Bimbisara memiliki keyakinan yang kokoh pada Tiratana (sotapanna), walaupun meninggal secara tragis sudah terbebas dari alam menyedihkan (apaya). Putri Rohini setelah berbuat kebajikan dengan membangun kuti, penyakitnya sembuh. Begitu juga Patacara pada akhirnya mencapai Arahatta.
Praktik sesuai Dhamma dan memiliki timbunan kebajikan adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi kesulitan. Ketika masih menjadi Bodhisatta, Sang Buddha juga mengandalkan kebajikan untuk menghadapi kesulitan. Begitu hebatnya serangan mara ini terhadap diri-Ku, Ibu-Ku, Ayah-Ku, saudara-Ku, maupun keluarga-Ku yang lain, tak satu pun dari mereka berada di sini. Hanya sepuluh kesempurnaan (parami) yang telah Kukembangkan dan Kulatih sedemikian lamanya inilah yang akan menjadi pelindung-Ku, satu-satunya (kronologi hidup Buddha). Maka melakukan kebajikan sebanyak mungkin adalah pelindung terbaik dalam menghadapi kesulitan.

Kebajikan-kebajikan dapat dilakukan dengan praktik kedermawanan (dana), kemoralan (sila) dan pengembangan batin (bhavana). Kedermawan, kemoralan, dan pengembangan batin, jika dipraktikkan dapat memberikan manfaat besar. Dalam Gamanisamyutta (SN 42.9) kepala desa Asibandhakaputta mengkritik Sang Buddha sebagai penghancur perumah tangga karena di saat terjadi bencana kelaparan, kelangkaan makanan dan panen rusak, Sang Buddha dengan disertai para bhikkhu dengan jumlah banyak mengembara. “Aku mengingat sejak sembilan puluh kappa yang lalu, Kepala Desa, tetapi Aku tidak ingat ada keluarga yang pernah hancur hanya karena mempersembahkan dana makan yang masak. Lagipula, keluarga mana pun yang kaya dengan banyak harta, dengan emas dan perak berlimpah dengan harta berlimpah, mereka semua menjadi demikian karena memberi, karena kejujuran dan karena pengendalian diri. Sagathavagga (SN I. 25) Sang Buddha menegaskan Yo dhammacari kayena, vacaya uda cetasa. Idheva nam pasamsanti, pecca sagge pamodati. “siapa pun yang melaksanakan Dhamma dengan baik, baik melalui perbuatan, ucapan ataupun pikiran; saat di dunia, ia dipuji para bijaksanawan, bila kematian tiba, akan berbahagia di alam surga”.

Umat Buddha juga hendaknya mengembangkan semangat untuk mendengarkan Dhamma. Manfaat mendengarkan Dhamma mampu memunculkan pandangan benar. Mahavedalla Sutta (MN 43) Yang Mulia Sariputta menjawab pertanyaan Yang Mulia Kotthita. Yang Mulia Kotthita, ada dua kondisi bagi memunculnya pandangan benar; kata-kata orang lain (parato ghosa) dan perhatian bijaksana (yoniso manasikara). Yang Mulia Sariputta mencapai kesucian (sotapanna) setelah mendengarkan Dhamma yang disampaikan oleh Yang Mulia Assaji, Ye dhamma hetuppa bhava, tesam hetum Tathagato aha, tesanca yo nirodho, evam vadi maha samano (Sang Tathagata telah menjelaskan sebab dan juga terhentinya semua fenomena yang muncul dari semua sebab. Ini adalah ajaran yang disampaikan oleh petapa Agung) (Dhp. Atthakatha 392). Kesucian (sotapanna) juga dicapai Yang Mulia Kondanna setelah mendengarkan Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56.11). Mengetahui bahwa Dhamma ajaran murni dapat membebaskan kesulitan dan penderitaan, maka kita hendaknya mengembangkan semangat untuk mempelajari Dhamma, berdiskusi Dhamma (dhammasakaccha) dan mendengarkan Dhamma (dhammasavana).

Ketika kita sudah banyak berdana, praktik moralitas, pengembangan batin, mempelajari sutta serta mendengarkan khotbah Dhamma, tetapi kesulitan-kesulitan kehidupan masih berdatangan, bukan berarti bahwa perbuatan baik yang pernah kita lakukan tidak memberikan hasil. Kebahagiaan karena melakukan kebajikan dapat juga berakibat pada masa mendatang, (Dhp. 120) Sang Buddha menyatakan Bhadropi passati papam, yava bhadram na paccati. Yada ca paccati bhadram, atha bhadrani passati“ (pelaku kebaikan mengaggap kebaikan adalah hal buruk sepanjang kebaikan belum masak. Tatkala kebaikan masak, ia akan menyadarinya sebagai hal baik). Jadi tetap berjuang mempraktikkan Dhamma adalah cara terbaik. Seandainya pun dalam kehidupan sekarang kita belum mampu mengatasi penderitaan, timbunan kebajikan itu menjadi penyokong kehidupan kita di masa mendatang.

Selamat berjuang mempraktikkan Dhamma, semoga kita semakin maju dalam Dhamma, semoga cita-cita luhur tercapai pada waktu yang sama.

Pustaka Rujukan.

  • Asin Kusaladhamma. 2015. Kronologi Hidup Buddha. Jakarta: Indonesia Satipatthana Meditation Center (ISMC).
  • Dhammadhiro, Bhikkhu (penerjemah). 2014. Pustaka Dhammapada Pali - Indonesia. Jakarta: Sangha Theravada Indonesia.
  • Dhammadhiro, Bhikkhu. 2019. Paritta Suci. Jakarta: Sa?gha Theravada Indonesia.
  • Dharmakusuma dan Tim Penerjemah Vidyasena (penerjemah). 2003. Dhammapada Atthakatha. Yogyakarta; Vidyasena Vihara Vidya Loka.
  • Indra Anggara (penerjemah). 2010. Samyutta Nikaya. Jakarta: DhammaCitta.
  • Indra Anggara (penerjemah). 2013. Majjhima Nikaya. Jakarta: DhammaCitta.
  • Team Giri Manggala Publication dan Team DhammaCitta Press (penerjemah). 2009. Digha Nikaya. Jakarta: DhammaCitta.

Dibaca : 14289 kali