PENTINGNYA PERENUNGAN KERAP KALI
Attanane piyam janna, rakkheyya nam surakkhitam,
tinnamannataram yamam, patijaggeyya pandito.
Bila orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga diri dengan baik.
Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa (dalam kehidupannya).
(Dhammapada, Atta-Vagga, 157)
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Proses kehidupan yang dialami setiap orang tentu tidak selalu berjalan sesuai harapan yang diinginkan. Walaupun sebagian besar orang pastinya mendambakan kehidupan yang lancar, mampu mempertahankan hal yang dimiliki, bisa tetap bersama dengan orang yang dicintai, dan tercapai kebahagiaan lainnya. Tetapi kenyataan hidup tidak selalu sesuai dengan harapan atau pun keinginan setiap orang, sehingga kondisi kenyataan yang tidak sesuai keinginan terkadang membawa kepedihan dan keputusasaan bagi sebagian besar orang, terutama ketika seseorang tidak mampu untuk menerima kenyataan pahit yang dialaminya.
Berkenaan mengenai hal tersebut, kita bisa mengingat kembali sejumlah peristiwa yang dialami oleh beberapa orang, yakni Adinnapubbaka, Kisa Gotami, dan Patacara merupakan beberapa kisah di zaman Sang Buddha. Mereka mengalami kesedihan dan keputusasaan karena kepergian dari orang terdekat yang disebabkan oleh kematian. Oleh karena itu, di dalam salah satu syair Dhammapada 211, mengatakan piyapayo hi papako, karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan.
Selain itu, setiap individu membawa fisik masing-masing selama mengarungi kehidupan. Fisik (rupa) merupakan salah satu dari 4 kenyataan tertinggi (paramattha dhamma), dan termasuk salah satu bagian dari 5 gugusan kemelekatan (pancakhandha)yang menjadi penyebab seseorang mengalami perasaan yang tidak menyenangkan. Meskipun kenyataan dalam hidup kita ketahui bahwa setiap orang terkadang sangat memuja fisik yang dimiliki, tetapi realita hidup, seperti yang dinasihatkan oleh Sang Buddha salah satu karakteristik kehidupan adalah mengalami perubahan (anicca). Termasuk fisik yang dipuja, dirawat, dan dipertahankan ini pun tidak luput dari perubahan. Ketika fisik tidak lagi sehat, ia dipenuhi oleh penyakit, dan di saat fisik tidak lagi di usia muda, ia berubah menjadi keriput serta menjadi tua. Hal itu tentu akan menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan bagi sebagian orang, khususnya bagi mereka yang tidak mampu untuk menerima kenyataan tersebut.
Keputusasaan yang dialami terkadang timbul karena tidak adanya kesiapan batin untuk menerima perubahan yang terjadi. Sedangkan, salah satu kecenderungan banyak orang di saat menjalani kehidupan lebih menyukai hal yang menyenangkan daripada kondisi yang tidak menyenangkan. Maka ketika seseorang dimabukkan oleh hal yang menyenangkan, memungkinkan timbulnya kelalaian dalam hidup. Kelengahan tersebut dapat mengondisikan seseorang untuk melakukan tindakan yang keliru, sehingga batin menjadi gersang tanpa dipenuhi oleh kebajikan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, dalam hal mengantisipasi keputusasaan tersebut sangat perlu bagi seseorang untuk memiliki kesiapan secara batin dengan latihan dan memupuk kebijaksanaan dalam diri.
Supaya batin dapat memiliki kesiapan untuk menerima suatu kenyataan hidup, kita bisa mengambil salah satu petunjuk yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Abhinhapaccavekkhitabbathanasutta (AN, 5.57), terdapat 5 tema yang dapat direnungkan, baik sebagai seorang laki-laki atau perempuan, sebagai seorang perumah tangga atau yang meninggalkan keduniawian, 5 hal itu adalah;
- Jaradhammomhi, jaram anatito (aku wajar mengalami usia tua, aku takkan mampu menghindari usia tua). Hal ini penting untuk sering direfleksikan demi mengurangi atau pun meninggalkan kemabukan pada kemudaan.
- Byadhidhammomhi, byadhim anatito (aku wajar mengalami penyakit, aku takkan mampu menghindari penyakit). Hal ini penting untuk sering direfleksikan demi mengurangi atau pun meninggalkan kemabukan pada kesehatan.
- Maranadhammomhi, maranam anatito (aku wajar mengalami kematian, aku takkan mampu menghindari kematian). Hal ini penting untuk sering direfleksikan untuk mengurangi atau pun meninggalkan kemabukan pada kehidupan.
- Sabbehi me piyehi mananapehi nanabhavo vinabhavo (segala milikku yang kucintai dan kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku). Hal ini penting untuk sering direfleksikan demi mengurangi keinginan dan nafsu sehubungan dengan orang-orang dan benda-benda yang disukai dan disayangi.
- Kammassakomhi, kammadayado kammayoni kammabandhu kammapatisarano, yam kammam karissamikalyanam va papakam vatassa dayado bhavissami (aku adalah pemilik perbuatanku sendiri, terwarisi oleh perbuatanku sendiri, lahir dari perbuatanku sendiri, berkerabat dari perbuatanku sendiri, tergantung pada perbuatanku sendiri, perbuatan apa pun yang akan kulakukan, baik atau pun buruk, perbuatan itulah yang akan kuwarisi). Hal ini penting untuk sering direfleksikan demi tetap mengigat sehubungan dengan kamma. Terutama dalam hal menghindari perbuatan salah melalui badan jasmani, ucapan, dan pikiran yang menjadi penyebab penderitaan.
Oleh Karena itu, berbagai perubahan sehubungan dengan kenyataan hidup yang dialami setiap orang pada dasarnya tidak bisa dihindari oleh siapa pun, baik benda-benda yang dimiliki, orang terdekat, bahkan fisik yang dicintai merupakan hal-hal yang dicengkram oleh perubahan. Batin yang tidak bisa menerima dan menyesuaikan antara keinginan dan kenyataan yang terjadi hanya menimbulkan ketidakbahagiaan, tetapi batin yang berusaha untuk menyesuaikan keinginan dengan perubahan yang terjadi, tidak akan dicengkram oleh keputusasaan. Maka dari itulah kelima tema yang dinasihatkan oleh Sang Buddha tersebut penting untuk sering direfleksikan, guna untuk memperkokoh batin agar memperkuat pengertian supaya bisa menerima datangnya realita kehidupan yang pahit.
Referensi:
Bhikkhu Bodhi. 2012. Anguttara Nikaya Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha. Jakarta Barat: DhammaCitta Press.
Kitab Suci DHAMMAPADA. 2013. Bahussuta Society.