Menghadapi Kematian Tanpa Ketakutan
Ajjeva kiccamatappam, ko janna maranam suve;
Na hi no sangaram tena, mahasenena maccuna.
Berusahalah hari ini juga! Siapa tahu kematian ada di esok hari.
Kerana, tawar menawar dengan Sang Raja Kematian bersama Pasukan besarnya tiada bagi kita.
(BhaddekarattaSutta, Uparipannasa, Majjhimanikaya)
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Dalam mengarungi kehidupan ini semua makhluk, termasuk kita manusia tidak terlepas dari hukum ketidakkekalan. Semua kehidupan akan mengalami suatu perubahan yang tidak tetap. Ia akan terus berubah, berganti, muncul dan lenyap. Ini adalah hukum pasti yang akan datang kepada siapa pun. Ketidakkekalan yang paling umum dan yang sering kita jumpai adalah kematian. Kematian akan datang kepada siapa pun tanpa memperdulikan apakah tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, berkulit putih atau hitam, beragama ataupun tidak beragama, kita semua akan mengalami hal yang sama yaitu kematian.
Kematian adalah suatu hal yang wajar yang pasti akan kita alami. Walaupun kematian adalah hal yang wajar akan tetapi tidak semua orang belum mampu menyadari kenyataan hidup ini. Kita sering lalai dan terlena oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Batinnya keruh ibarat air kotor yang tidak bisa digunakan untuk bercermin sehingga sulit untuk melihat kenyataan hidup ini. Selain itu, kematian bukanlah hal untuk ditakuti akan tetapi harus kita pahami. Dengan memahami kematian kita akan menyadari bahwa segala sesuatu sudah sewajarnya mengalami kelapukan dan kematian.
Di dalam AnguttaraNikaya (4.184), terdapat percakapan Sang Buddha dan Brahmana Janusson?. Brahmana Janusson? menyatakan bahwa semua orang takut dan gentar dalam menghadapi kematian. Akan tetapi, Sang Buddha menyatakan bahwa ada orang-orang yang takut terhadap kematian dan ada pula seseorang yang tidak takut terhadap kematian. Kemudian Sang Buddha menyampaikan ada empat hal yang membuat seseorang takut dalam menghadapi kematian, yaitu:
- Seseorang yang masih melekat terhadap kenikmatan-kenikmatan indria.
Di sini dikatakan seseorang yang masih melekat terhadap kenikmatan-kenikmatan indria kecenderungan akan mengalami ketakukan. Mereka akan takut dan khawatir ketika berpisah dengan apa yang ia senangi dan berusaha untuk mempertahankannya. Kenikmatan-kenikmatan ini bukan muncul tanpa adanya sebab. Munculnya kenikmatan-kenikmatan indria tidak terlepas dari enam landasan indria yang kita miliki yaitu mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan pikiran. Ketika keenam indria ini bertemu dengan objeknya maka akan memberikan kesan yang berbeda-beda, yakni kesan yang menyenangkan, tidak menyenangkan maupun netral.
- Seseorang yang masih melekat terhadap tubuh jasmani.
Ketika diri kita mendengar kata-kata jangan melekat terhadap tubuh jasmani, kecenderungan kita menjadi salah persepsi. Jangan melekat terhadap tubuh jasmani di sini bukan berarti kita harus membenci tubuh kita, jengkel terhadap tubuh kita, dan kemudian kita tidak merawatnya, tidak membersihkan, tidak memberikan asupan makanan dan minuman yang bergizi pada tubuh kita dan sebagainya. Tentu hal ini adalah hal yang keliru, Sang Buddha mengajarkan kepada kita agar tidak melekat terhadap tubuh jasmani bukan berarti Sang Buddha melarang kita untuk merawat tubuh kita. Akan tetapi Beliau cuma mengingatkan kepada kita bahwa ketika tubuh ini dilekati akan memberikan dampak penderitaan bagi siapa pun. Selain itu, Sang Buddha juga memahami bahwa tubuh adalah sarang penyakit dan suatu saat akan kita tinggalkan. Oleh karena itu, dengan tidak melekatinya maka kita akan terbebas dari penderitaan.
- Seseorang yang tidak pernah buat baik dan sering melakukan kejahatan.
Ketakutan akan menghantui bagi mereka yang tidak pernah berbuat baik dan sering melakukan tindakan kejahatan. Ketika kematian tiba maka orang tersebut akan terkondisi terlahir di alam menderita. Berbeda pula dengan mereka yang sering melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan sudah tentu hidup tanpa ketakutan. Ketika kematian tiba maka orang tersebut akan terkondisi terlahir di alam bahagia. Hal ini sesuai dengan konsep hukum kamma, barang siapa yang menanam maka ia akan panen. Ia yang menanam kebaikan akan menghasilkan kebahagiaan dan ia yang menanam keburukan maka akan menghasilkan keburukan. Oleh karena itu, tanamlah kebaikan maka akan menghasilkan kebahagiaan.
- Seseorang yang masih diliputi oleh keragu-raguan terhadap Dhamma
Seseorang yang belum yakin terhadap Dhamma adalah orang-orang yang masih belum mengerti dan memahami ajaran Buddha. Mereka adalah orang-orang yang masih diliputi oleh ketidaktahuan. Dengan adanya ketidaktahuan mereka ragu terhadap kebenaran Dhamma, ragu terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha), ragu terhadap empat kebenaran mulia, ragu terhadap jalan mulia berfaktor delapan, dan ragu terhadap kebenaran hukum kamma. Oleh karena itu, jangan pernah untuk berhenti untuk belajar dan praktik Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Dengan belajar dan pratik Dhamma, maka meningkatkan keyakinan kita, sehingga keragu-raguan itu pun akan lenyap.
Itulah keempat penyebab mengapa dikatakan seseorang masih takut dan gentar dalam menghadapi kematian. Kemudian Sang Buddha juga melanjutkan, ketika seseorang sudah terbebas dari keempat tersebut yaitu dengan tidak melekat terhadap kenikmatan-kenikmatan indria, tidak melekati tubuh jasmaninya, dengan sering melakukan kebajikan, senantiasa menghindari dari keburukan dan meningkatkan keyakinan kepada ajaran Buddha, maka seseorang bisa terbebas dari rasa ketakutan dalam menghadapi kematian. Kapan pun kematian tiba kita tidak akan pernah merasa takut. Oleh karena itu, mari dan terus berjuang tanpa henti untuk mempraktikan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbebas dari rasa ketakutan dalam menghadapi kematian.
Rerensi:
- Anguttara Nikaya. Terj. Bhikkhu Bodhi. DhamamacittaPress.
- Majjhima Nikaya. Terj. Bhikkhu Bodhi. DhamamacittaPress.