x

Mendidik Anak Dengan Cerdas dan Bijak

Sapubbacariyakani bhikkhave,
tani kulani yesam puttanam matapitaro ajjhagare pujita honti.

Para bhikkhu, keluarga-keluarga itu berdiam dengan guru-guru pertama
di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka.

Brahmasuttam, Anguttara Nikaya (AN 4.63)


    DOWNLOAD AUDIO

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

Pernahkah anda sebagai orangtua merasa kesal karena anak-anak suka berbicara bohong atau mungkin saja darah tinggi anda naik gara-gara anak-anak sering mengucapkan kata-kata kasar?
Anak tumbuh dan berkembang di dalam keluarga. Belajar jalan, bicara, makan, minum, memakai baju, sandal dan sepatu adalah beberapa contoh yang didapat dari lingkungan keluarga. Dengan demikian pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga. Karena pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, maka ibu dan ayah adalah guru pertama bagi mereka. Sebagai seorang guru, hendaknya orangtua memiliki pengetahuan, pengetahuan diperlukan guna mendidik anak-anak mereka.
Orangtua dapat mempelajari Dhamma sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan. Misalnya untuk mencegah anak-anak berbicara bohong, orangtua dapat menggunakan perumpamaan kotoran, bunga, dan madu. Tiga perumpamaan ini dijelaskan Sang Buddha di dalam Guthabhani-suttam, Anguttara Nikaya (AN 3.28). Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia; seorang yang ucapannya bagaikan kotoran (guthabhani), seorang yang ucapannya bagaikan bunga (pupphabhani), dan seorang yang ucapannya bagaikan madu (madhubhani).

  • Dan apakah ucapan yang bagaikan kotoran?

Seorang tidak tahu, mengatakan ‘aku tahu’ atau tahu, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu’; seorang tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat’, atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat’. Artinya ucapan bohong itulah yang disebut ucapan bagaikan kotoran. Jika orangtua mengetahui anaknya dengan sengaja berbicara bohong, bisa mencoba menggunakan perumpamaan kotoran untuk mendidik mereka. Tentu tidak sulit menemukan kotoran, bahkan dapat ditemukan di lingkungan rumah, misalnya kotoran binatang. Kotoran binatang tidak disukai dan orang akan menghindarinya, selain itu, kotoran juga berbau busuk. Demikian pula, ia yang suka berbicara bohong tidak disukai, akan dijauhi dan karena ia suka berbicara bohong, teman-teman membicarakannya, guru-guru membicarakannya, akhirnya ia dikenal sebagai anak yang suka berbicara bohong, ia memiliki reputasi buruk. Reputasi buruk ini adalah bau busuk. Karena ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, ia memperoleh reputasi buruk. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia berbau busuk. Seperti halnya tanah pemakaman yang berbau busuk, Aku katakan orang itu serupa dengan hal itu (Sivathikasuttam, Anguttara Nikaya (AN 5.249).

  • Dan apakah ucapan yang bagaikan bunga?

Seseorang tidak tahu, mengatakan ‘aku tidak tahu’ atau tahu, mengatakan, ‘aku tahu’; tidak melihat, mengatakan, ‘aku tidak melihat’, atau melihat, mengatakan, ‘aku melihat’. Artinya ucapan jujur itulah ucapan yang bagaikan bunga. Bunga memiliki bau harum, disukai, dan senantiasa dicari banyak orang. Jika anak-anak ditanya, pilih kotoran yang berbau busuk apa pilih bunga yang baunya harum, pilihannya sudah pasti bisa ditebak, serentak memilih bunga. Arti-nya orangtua dapat menumbuhkan kejujuran pada diri anak-anak dengan menggunakan perumpamaan bunga.
Bunga mudah untuk ditemukan, bahkan setiap puja bakti hari Minggu di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, beberapa orangtua mengajak anak-anak mereka untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha dengan mempersembahkan bunga di altar. Pada saat inilah, sebetulnya kesempatan orangtua untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran pada diri anak. Dengan memberi pengertian, seperti bunga yang disukai, dan berbau harum, demikian pula, jika berbicara jujur akan disukai, teman-teman memuji, guru-guru juga memuji, ia dikenal sebagai anak yang jujur, nama menjadi harum, dan nama harum ini bisa menyebar lebih luas jika dibanding dengan keharuman bunga. Keharuman bunga tidak menyebar melawan angin, keharuman cendana, tagara, atau melati juga tidak. Tetapi keharuman orang-orang baik menyebar melawan angin, keharuman orang baik menyebar ke segala penjuru (Anguttara Nikaya 3.79).

  • Dan apakah ucapan yang bagaikan madu?

Di sini seorang meninggal-kan ucapan kasar, menghindari ucapan kasar. Setelah seorang meninggalkan ucapan kasar dan menghindari ucapan kasar, ia mengucapkan kata-kata yang halus, menyenangkan di telinga, memikat, yang masuk ke dalam hati, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Kata-kata yang disampaikan dengan cara demikian adalah ucapan yang bagaikan madu. Orangtua dapat menggunakan perumpamaan madu yang memiliki rasa manis untuk mendorong anak-anak berbicara halus dan sopan. Sama halnya madu yang rasanya manis, dapat menimbulkan perasaan bahagia bagi yang meminumnya, demikian pula, kata-kata yang disampaikan dengan halus dan sopan, dapat menimbulkan perasaan bahagia bagi yang mendengar.
Ibu dan ayah adalah guru pertama (pubbacariya) bagi anak-anak mereka, maka sudah suatu kewajiban mendidik mereka. Sebelum memarahi dan meng-hukum anak-anak yang berbicara bohong, tiga perumpamaan yang diajarkan Sang Buddha dapat digunakan dalam mendidik mereka. Tidak harus menunggu anak-anak berbicara bohong terlebih dahulu, baru sibuk men-jelaskan buruknya akibat ucapan bohong. Mendidik anak agar berbicara jujur dan sopan, dapat dilakukan bahkan ketika anak-anak masih muda belia. Seperti Rahula, saat umur tujuh tahun juga sudah mendapat nasihat dari Sang Buddha ‘Rahula, jika seorang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja, maka tidak ada kejahatan, Aku katakan, yang tidak akan ia lakukan. Oleh karena itu Rahula, engkau harus berlatih sebagai berikut; ‘Aku tidak akan mengucapkan kebohongan bahkan sebagai suatu gurauan’ (Ambalatthikarahulovada Sutta, Majjhima Nikaya (MN 61)).
Orangtua yang senantiasa menasihati anak-anak mereka untuk tidak berbicara bohong artinya telah mencegah anak-anak berbuat buruk. Orangtua yang mendorong anak-anak mereka berbicara jujur dan berbicara sopan artinya telah menganjurkan anak-anak berbuat bajik. Berbicara jujur, ucapan bohong ditinggalkan, berbicara sopan, ucapan kasar ditinggalkan. Mencegah anak-anak berbuat buruk dan menganjurkan mereka untuk berbuat bajik adalah ciri orangtua bijaksana. Memahami manfaat dari ucapan jujur dan sopan, mari kita juga melatih untuk senantiasa berbicara jujur dan sopan. Semoga kita semakin maju dalam Dhamma, semoga semua makhluk berbahagia.

Pustaka Rujukan

  • Indra Anggara (penerjemah). 2015. Anguttara Nikaya. Jakarta: DhammaCitta.
  • Indra Anggara (penerjemah). 2013. Majjhima Nikaya. Jakarta: DhammaCitta.

Dibaca : 11923 kali