x

KISAH KALAYAKKHINI LAHIR UNTUK MENUNTUT BALAS

    DOWNLOAD AUDIO

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Na hi verena verāni sammantīdha kudācanaṁ
Averena ca sammanti esa dhammo sanantano
Kapan pun di dunia ini, kedengkian tidak redam oleh kedengkian. 
Sebaliknya menjadi redam oleh ketidakdengkian. 
Ini adalah ajaran sepanjang zaman. (Dhammapada, Syair 5)


Menjalani hidup sebagai manusia tidak mudah. Bisa saja orang akan mengucapkan kata-kata bohong, kasar, memfitnah, atau juga mereka memukul dengan tangan, bongkahan tanah, batu, kayu, menyerang dengan pisau, atau mengambil barang kita, mengganggu orang yang disayangi dan tindakan-tindakan buruk lainnya. Peri-laku buruk seperti itu, dapat membuat jengkel, kesal, dan marah. Ke-jengkelan, kekesalan, kemarahan, jika digenggam dengan gigih, dapat men-jadi kebencian, dan kebencian pada akhirnya dapat berkembang menjadi dendam. Karena muncul dendam inilah ada keinginan keras untuk mem-balasnya, baik melalui ucapan maupun perilaku jasmani. Ketika sudah menjadi orang pendendam, ini hanya akan merugikan dalam jangka waktu yang lama. 

Untuk membuktikan dendam hanya akan membawa penderitaan dalam jangka waktu yang lama, terdapat dalam kisah Kālāyakkhini. Kisah ini terdapat di Dhammapada Atthakathā. Ketika Sang Buddha menetap di Sāvatthi, ada sepasang suami istri hidup bersama. Karena istrinya mandul, suaminya mengambil istri kedua. Dari sinilah permusuhan antara istri pertama dan istri kedua dimulai. Permusuhan terjadi ketika istri kedua mengandung. Istri pertama merasa tidak senang, memberikan obat untuk menggugurkan kandungan ke dalam makanan, dan setelah makan istri kedua mengalami keguguran. Istri kedua mengandung lagi dan lagi-lagi istri pertama memberi obat untuk menggugurkan kandungan, sehingga istri kedua mengalami keguguran lagi. Kejadian yang sama terjadi pada kehamilan yang ketiga, istri pertama memberikan obat untuk menggugurkan kandungan ke dalam makanan, hanya saja karena kehamilannya sudah besar, istri kedua mengalami pendarahan, disebabkan pendarahan, ia meninggal dan anak di dalam kandungan juga meninggal. Sebelum meninggal, istri kedua memunculkan kebencian dan akan menuntut balas. 
Akhirnya setelah meninggal istri kedua lahir kembali menjadi kucing, dan istri pertama lahir menjadi ayam. Setiap ayam bertelur, kucing memakan telur-telur tersebut. Per-musuhan keduanya berlanjut, ayam lahir sebagai macan tutul, dan kucing lahir sebagai rusa betina. Tiga kali rusa melahirkan dan tiga kali juga macan tutul memakan anak-anak rusa tersebut. Disebabkan adanya dendam, per-musuhan berlanjut, macan tutul lahir kembali menjadi perempuan diSāvatthi, dan rusa betina lahir sebagai Kālāyakkhini. Perempuan tersebut me-nikah, dua kali melahirkan dan dua kali juga anaknya dirampas dan dimakan oleh Kālāyakkhini. Ketika perempuan tersebut melahirkan anak yang ketiga, Kālāyakkhini datang dan ingin me-rampas anak tersebut, perempuan ter-sebut berlari ke Vihara Jetavana. Sang Buddha yang mengetahui kejadian ter-sebut, berkata kepada mereka “Meng-apa Anda berbuat demikian? Bila Anda tidak bertemu Buddha seperti saya, maka anda tidak dapat melenyapkan perasaan saling membenci selama satu kappa.” Karena peristiwa inilah Sang Buddha membabarkan Dhamma “Kapan pun di dunia ini, kedengkian tidak redam oleh kedengkian, Sebalik-nya menjadi redam oleh ketidak-dengkian. Ini adalah ajaran sepanjang zaman.” (Dhp. Syair 5).

Menyadari bahwa dendam hanya akan membawa penderitaan, bahkan bisa terbawa pada kelahiran mendatang, maka ketika kejengkelan, kekesalan muncul, agar tidak ber-kembang menjadi dendam berkelanjut-an, sepatutnya segera dilenyapkan. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana cara melenyapkan ke-kesalan yang sudah muncul di dalam diri?
Kekesalan yang muncul ter-hadap orang lain dapat dilenyapkan dengan cara melihat hal bermanfaat yang ada pada diri orang tersebut. Misalnya, kalau orang itu memiliki perilaku jasmani buruk, kita dapat melihat ucapannya yang baik untuk melenyapkan kekesalan, cara sebalik-nya juga diterapkan. Hal ini disampai-kan Bhante Sariputta di dalam Dutiya-āghātapaṭivinayasutta (AN. 5.162).

1.Jika perilaku jasmani seseorang tidak murni, tetapi ucapannya murni, seseorang harus melenyap-kan kekesalan terhadap orang demikian.

2.Perilaku ucapan seseorang tidak murni, tetapi perilaku jasmani murni, seseorang harus melenyap-kan kekesalan terhadap orang demikian.

3.Perilaku jasmani dan perilaku ucapan tidak murni, tetapi dari waktu ke waktu seseorang mendapat keterbukaan pikiran, ketenteraman pikiran, seseorang juga harus me-lenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.

4.Perilaku jasmani dan perilaku ucapan tidak murni, dan ia tidak mendapatkan ketenteraman pikiran, seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.

5.Perilaku jasmani murni dan perilaku ucapan murni, ia juga mendapatkan ketenteraman pikiran, seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.


Dengan melihat manfaat yang ada pada diri orang yang memunculkan kekesalan dalam diri kita, maka kekesalan itu pun bisa reda. Maka penting untuk melihat hal bermanfaat yang ada pada diri orang lain. Pada akhirnya melenyapkan kejengkelan, kekesalan, kemarahan, kebencian dan dendam adalah penting untuk dilaku-kan. Semoga kita dapat melenyapkan kejengkelan, kekesalan, kemarahan, kebencian dan dendam. Semoga kita semakin maju dalam Dhamma, semoga cita-cita luhur agar batin terbebas dari kebencian dan dendam dapat direalisasi. 

Rujukan:
&Aggabalo, Bhikkhu (penerjemah). 2007. Dhammapada Atthakathā. Jakarta: Perpustakaan Narada.
&Anggara, Indra (penerjemah). 2015. Aṅguttara Nikāya. Jakarta: DhammaCitta.
&Dhammadhīro, Bhikkhu (penerjemah dan penyusun), 2014. Pustaka Dhammapada Pāli - Indonesia. Jakarta: Sangha Theravada Indonesia.


Text Dhammadesanā dan Informasi Kegiatan Dapat Dilihat di Link Berikut: https://drive.google.com/file/d/1YSkDU1_sQDrLrcUFK5bAoj3xYA__waMY/view

Dibaca : 10584 kali