Bisa Berbuat Baik Adalah Berkah
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Sukarāni asādhūni attano ahitāni ca
yaṁ ve hitañ ca sādhuñ ca taṁ ve paramadukkaraṁ.
“Sungguh mudah melakukan hal-hal buruk dan tak bermanfaat
Sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri.”
(Dhammapada 163)
(Dhammapada 163)
Agama Buddha menekankan peng-ikutnya untuk menghindari per-buatan buruk, memperbanyak per-buatan baik, dan membersihkan batin. Pemahaman tentang berkah dalam agama Buddha juga tidak lepas dari tiga poin penting tersebut. Berkah bukanlah sesuatu yang dicari di tempat-tempat tertentu, tetapi berkah adalah sesuatu yang dicipta-kan dengan dasar menghindari kejahatan, memperbanyak perbuatan baik, dan membersihkan batin. Dalam Maṅgala Sutta, secara jelas perbuatan menghindari dan tidak melakukan kejahatan merupakan berkah. Perbuatan baik seperti ber-dana, berperilaku sesuai Dhamma, dan melakukan perbuatan tanpa cela merupakan berkah. Memiliki kualitas diri seperti rasa hormat, kerendahan hati, kepuasan hati, dan berterima kasih merupakan berkah. Perealisasi-an Nibbāna yang merupakan tujuan utama dari ajaran Buddha, juga disebut sebagai berkah utama.
Dalam Dhamma, kita diminta untuk bergegas berbuat kebajikan dan mengendalikan pikiran dari ke-jahatan. Apabila kita telah berbuat jahat, hendaknya kita tidak meng-ulanginya lagi dan apabila kita berbuat baik hendaknya kita meng-ulanginya lagi dan lagi. Sekecil apapun perbuatan baik atau buruk seharusnya tidak dipandang sebagai remeh. Ibarat air yang menetes demi tetes akan memenuhi isi tempayan.
Veḷudvāreyya Sutta dari Saṁyutta Nikāya memberikan uraian menarik tentang membandingkan perasaan diri sendiri dengan yang lain sebagai tolok ukur sebelum se-seorang bertindak. Di sini seseorang harus merenungkan demikian ‘saya adalah orang yang ingin hidup, tidak ingin mati; saya menginginkan ke-bahagiaan dan menolak penderitaan; ketika saya menginginkan demikian, jika ada seseorang yang ingin meng-ambil hidup saya, ini tidak me-nyenangkan bagiku. Demikian orang lain yang juga menginginkan hal yang sama denganku, jika aku ingin mengakhiri hidupnya, ini tidak me-nyenangkan baginya.’ Dengan me-renungkan demikian, seseorang akan berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap orang lain, karena orang lain adalah sama dengan dirinya sendiri. Dengan cara yang sama, seseorang merenungkan dan membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri, tidak akan melakukan pencurian, perbuatan asusila, berbohong, berucap me-mecahbelah, berkata kasar, dll.
Buddha sendiri menyadari kecenderungan manusia yang lebih mudah melakukan kejahatan ketimbang melakukan kebajikan. Ketidaktahuan yang membuatnya demikian. Ketidaktahuan membuat seseorang tidak menyadari penting-nya berbuat baik dan buruknya kejahatan. Untuk bisa berbuat baik, seseorang perlu memiliki pandangan benar terlebih dahulu. Pandangan
benar membantu seseorang untuk melihat bahwa ada akibat dari per-buatan baik dan buruk, ada kehidup-an ini dan kehidupan selanjutnya, dsb. Seseorang dikatakan memiliki pandangan benar apabila ia me-mahami perbuatan buruk beserta akarnya dan juga memahami per-buatan baik beserta akarnya. Se-seorang dipertimbangkan sebagai tumpul dan dungu apabila ia tidak mengetahui mana kualitas perbuatan baik atau buruk, perbuatan terpuji atau tercela, dan superior atau rendah.
Tanpa adanya pandangan benar, seseorang akan beranggapan bahwa perbuatan baik tidak mem-berikan manfaat terhadapnya. Ke-jahatan bagi yang tidak tahu di-anggap seperti manisnya madu. Pembuat kebajikan mungkin meng-aggap buruk selama buah dari perbuatan baik belum dipetik. Oleh karena itu, pandangan benar sungguh dibutuhkan untuk mem-bedakan mana yang baik dan buruk. Di samping itu, pandangan benar membuat seseorang memiliki hiri dan ottappa yang menjadi sebab terdekat pendukung praktik moralitas. Bahkan dengan memiliki hiri dan ottappa, dunia akan menjadi lebih terlindungi dari perbuatan-perbuatan buruk. Dalam Aṅguttara Nikāya, dikatakan bahwa hiri dan ottapa adalah pe-lindung dunia.
Selain kecenderungan dari dalam, terkadang faktor eksternal juga bisa membuat seseorang enggan untuk berbuat baik. Per-gaulan adalah faktor penting yang bisa berdampak pada hal baik atau buruk. Di antara faktor-faktor ekster-nal, Buddha sendiri tidak melihat satu pun faktor yang mengarah pada bahaya yang begitu besar selain dari pertemanan yang buruk. Demikian juga tidak satu pun faktor yang mengarah pada manfaat besar selain dari pertemanan yang baik. Karena faktor eksternal pula terkadang se-seorang memilih melakukan jalan kejahatan. Terkadang keterbatasan yang dimiliki seseorang membuat seseorang tidak bisa melakukan kebajikan lebih. Oleh karena itu, bisa berbuat baik adalah berkah. Bahkan berkah yang didapat dari berbuat baik tidak hanya untuk orang yang melakukan saja. Orang-orang yang bergaul dengan orang tersebut juga memperoleh berkahnya. Berkah yang dibuat seseorang akan mampu menjadi berkah bagi orang lain juga.
Berbuat baik juga tidak se-harusnya dipandang sebagai sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Ke-sempatan untuk berbuat baik se-sungguhnya ada di mana-mana, namun karena ketidaktahuan kita, berbuat baik seakan-akan menjadi sulit sehingga menimbulkan ke-engganan untuk dilakukan. Untuk menciptakan berkah pun juga se-benarnya tersedia di mana-mana. Berkah tidak hanya terletak pada suatu tempat-tempat ritual. Ambil contoh dalam lingkup pergaulan, tidak bergaul dengan orang dungu dan senantiasa bergaul dengan orang yang bijak adalah berkah. Di lingkup keluarga, menyokong ibu dan ayah, menyayangi istri dan anak, dan membantu kerabat sanak keluarga merupakan berkah. Oleh karena itu, berkah bisa diciptakan di mana saja dan oleh siapa saja.
Kesimpulan
Berkah dalam Agama Buddha tidak mengarah pada praktik ritual mistis. Yang disebut berkah masih berdasarkan asas menjauhi kejahat-an, memperbanyak perbuatan baik, dan membersihkan batin. Hasil dari praktik tersebut juga disebut berkah. Tak bisa dipungkiri, bisa berbuat baik adalah berkah. Di satu sisi, se-seorang yang bisa berbuat baik ber-arti telah mengerti pentingnya per-buatan baik dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Di sisi lain, bisa berbuat baik disebut berkah karena cara untuk mendapatkan berkah adalah dengan menjauhi kejahatan, memperbanyak kebajikan, dan membersihkan batin. Berkah berguna bagi kemajuan diri sendiri dan juga bermanfaat bagi orang lain juga.
Text Dhammadesanā dan Informasi Kegiatan Dapat Dilihat di Link Berikut: