KETIKA KEBAIKANMU TIDAK DIHARGAI
“Dveme Bhikkhave, puggalā dullabhā lokasmiṃ. Katame dve? Yo ca pubbakārī,yo ca kataññū katavedī. Ime kho bhikkhave, dve puggalā dullabhā lokasmin” ti.Para bhikkhu, kedua jenis individu ini adalah jarang di dunia ini. Siapakah dua ini? Seseorang yang berinisiatif dalam menolong orang lain dan seseorang yang bersyukur dan berterima kasih. Kedua jenis individu ini adalah jarang di dunia ini.(Aṅguttara Nikāya, 2.119)
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Sudah berapa kali menolong saudara, kerabat, sahabat, teman atau bahkan orang yang baru di temui? Bisa saja akan ada yang menjawab, sudah banyak kali. Begitulah sebagai makhluk sosial, memang tolong menolong antar sesama tidak dapat terelakkan. Bahkan tidak jarang ditemukan, ada orang yang sangat cekatan membantu orang yang sedang mengalami kesulitan. Tentu mereka yang batinnya tergerak berinisiatif menolong orang lain meski tanpa diminta, patut menerima pujian dan orang-orang seperti inilah, yang jarang ditemukan di dunia ini (pubbākarī). Tetapi masalahnya, tidak semua orang yang telah menerima budi baik, akan mengenang atau setidaknya menghargai budi baik tersebut. Bisa saja kebaikan dibalas keburukan, tindakan manis dibalas kepahitan, pertolongan dibalas kecurangan, “air susu dibalas air tuba.”
Peribahasa tersebut mungkin sudah sering kita dengar atau kalau tidak, pernah membacanya. Jika hal tersebut terjadi pada kita, bagaimana cara menyikapi? Sikap bijak diperlukan dalam menghadapi permasalahan tersebut. Ada ungkapan, orang bijaksana adalah ia yang mau belajar dari kegagalan diri sendiri dan kegagalan orang lain, juga belajar dari keberhasilan diri sendiri dan keberhasilan orang lain. Maka mari kita belajar dari kisah Bodhisatta yang terdapat di Mahākapi-Jātaka, No.516 untuk menjadi orang bijaksana.
Kisah ini diceritakan Sang Buddha saat berdiam di Veḷuvana. Ketika Brahmadatta memerintah di Benares, seorang petani di Desa Kasi melepaskan kerbau-kerbaunya setelah membajak sawah dan ia mulai bekerja menggunakan sekop. Ketika sedang memakan rumput di semak-semak pepohonan, sedikit demi sedikit, kerbau-kerbau itu masuk ke dalam hutan. Menyadari bahwa hari mulai gelap, petani meletakkan sekop dan mencari kerbau-kerbau tersebut. Ia mengembara di dalam hutan hingga akhirnya masuk ke daerah pegunungan Himalaya. Ia kehilangan arah dan berkelana selama tujuh hari tanpa makanan. Ketika melihat pohon Tinduka (Diospyros embryopteris), ia memanjat dan memakan buahnya. Terpeleset dari pohon itu, ia pun jatuh ke dalam jurang yang menyerupai neraka sedalam enam puluh hasta.
Pada waktu itu, Bodhisatta lahir sebagai seekor kera dan ketika sedang makan buah-buahan, ia melihat petani itu. Dengan membawa batu, kera tersebut naik dari jurang naik ke atas, membuktikan bahwa ia memiliki kekuatan. Dan ketika berhasil melaku-kannya, ia mengeluarkan petani tersebut dari jurang hingga akhirnya berhasil sampai di atas. Keletihan, kera pun tertidur di samping petani. Muncul pikiran jahat, daging kera adalah lezat, kalau aku memakan dagingnya tenagaku akan pulih. Petani mengambil batu dan menghantamkan ke arah kera yang sedang tertidur. Tetapi karena tenaganya lemah, batu tersebut hanya melukai kepala, kera terbangun dan melompat ke pohon dengan kepala bersimbah darah. Dari atas pohon kera memandang ke arah petani, seolah tidak percaya atas apa yang sedang terjadi. Bagaimana mungkin, orang yang di tolong dari kematian justru membalasnya dengan menyerang balik, berusaha membunuhnya. Di saat itu, kera berkata, Tuan jangan bertindak demikian, karena kalau tidak nasibmu akan membuatmu lama menerima pembalasan. Teruslah berjalan, saya akan menunjukkan jalan keluar dari atas pohon.
Kisah ini dapat dijadikan renungan, walaupun mendapatkan balasan buruk, tetapi Bodhisatta tetap menolong petani tersebut keluar dari hutan. Inilah kualitas luhur seorang Bodhisatta. Mampukah kita seperti Bodhisatta? Patut dilatih sedikit demi sedikit. Selain itu, perihal ini juga penting untuk direnungkan, sikap batin bagaimana, yang patut dikembangkan ketika kita sendiri justru yang mendapat kebaikan orang lain? Maka dua kualitas batin luhur inilah yang patut dikembangkan ketika mendapat kebaikan yaitu kataññū (tahu budi baik orang lain), katavedī (berterimakasih dan berusaha membalas kebaikan tersebut). Kataññū katavedī patut dikembangkan dalam batin, orang yang memiliki batin luhur ini, Sang Buddha menyatakan sebagai orang yang keberadaannya sulit ditemukan. Maka agar kita menjadi salah satu orang yang sulit ditemukan di dunia ini, mari berusaha untuk memasukkan nilai-nilai luhur tersebut.
Untuk memiliki nilai-nilai luhur tersebut, kita dapat belajar dari orang lain. Dan salah satu orang yang patut dijadikan panutan, suri teladan dalam mengembangkan nilai-nilai luhur tersebut adalah Bhante Sariputta. Di saat beberapa bhikkhu tidak berkenan menahbiskan Radha sebagai bhikkhu karena usianya yang sudah sepuh, Bhante Sariputta ingat pernah menerima kebaikan satu sendok makan dari Radha, Radha pun ditahbis, tekun menerima bimbingan Bhante Sariputta, Bhante Radha menjadi Arahanta di usia senja (Dhammapada Aṭṭhakathā, syair 76). Di kesempatan lain, karena telah mendapatkan manfaat ketika mendengar Dhamma untuk pertama kali yang disampaikan Bhante Asajji hingga menembus Dhamma, sebagai rasa terima kasih, sebagai rasa penghormatan, jika pada saat itu tidak menetap bersama Bhante Assaji, Bhante Sariputta akan memberi penghormatan dengan cara membungkuk ke arah Bhante Assaji, di mana Beliau sedang menetap (Dhammapada Aṭṭhakathā, syair 392).
Demikianlah, Bodhisatta mengajarkan untuk senantiasa berinisiatif menolong (pubbākarī), sementara Bhante Sariputta mengajarkan untuk tahu budi baik orang (kataññū) dan berusaha membalasnya (katavedī). Tentu tujuan mengembangkan pubbākarī dan kataññū katavedī bukan hanya sekadar untuk menjadi orang yang sulit ditemukan, tetapi lebih dari pada itu, mengembangkan nilai-nilai luhur tersebut adalah demi mengondisikan menjadi Orang Mulia. Karena pada dasarnya, mengikuti cara berpikir, bertutur kata dan berperilaku Orang Mulia, memungkinkan juga menjadikan seseorang menjadi Mulia.
Semoga semua makhluk berbahagia
Semoga kita maju dalam Dhamma
Pustaka Rujukan:
- Anggara, Indra (penerjemah). 2015. Aṅguttara Nikāya. Jakarta: DhammaCitta.
- Tim Penerjemah Vidyāsenā. 2021. Dhammapada Aṭṭhakathā Cetakan kedua. Yogyakarta: In Sight Vidyāsenā Production
- Wijaya, Johan (penerjemah). 2009. Jātaka Volume V. Medan: Indonesia Tipitaka Center (ITC)