Hidup Bahagia, Mati Tenang
Idha nandati pecca nandati, katapuñño ubhayattha nandatiPuññaṁ me katan’ti nandati, bhiyyo nandati suggatiṁ gato“Pembuat kebajikan berbahagia di kehidupan ini, ia juga berbahagia di kehidupan yang akan datang. Ia berbahagia di kedua alam kehidupan. Ia sangat berbahagia ketika merenungkan perbuatan baiknya dan akan lebih berbahagia setelah terlahir di alam surga.”(Dhammapada I: 18)
Tidak dipungkiri bahwa semua orang mendambakan hidup bahagia. Harapan ini tidak saja menjadi harapan manusia, melainkan semua makhluk tanpa terkecuali. Semua mengharapkan dapat menjalani hidup dengan bahagia, dan sebaliknya tidak satupun menginginkan hidup men-derita. Meskipun pada kenyataannya kehidupan senantiasa berjalan dengan kemenduaannya; ada bahagia, juga ada derita. Seperti dua sisi mata uang dalam koin, bahagia dan derita adalah sisi-sisi tak terpisahkan dari kehidupan.
Dalam kaitannya dengan harapan untuk dapat hidup bahagia, pada masa kini tak ubahnya pula pada masa kehidupan guru agung Sang Buddha. Sang Buddha pernah menyampaikan tentang harapan-harapan wajar seorang manusia; menjadi kaya dengan cara yang pantas, mem-peroleh kedudukan sosial setinggi mungkin, memiliki kesehatan, dan harapan untuk dapat terlahir di alam bahagia (surga) setelah kematian (A?guttara Nik?ya). Harapan-harapan ini juga menjadi harapan hidup kita saat ini dan sudah pasti pula menjadi harapan manusia peradaban ke depan. Mendambakan itu semua tentu tidak salah, namun patut untuk diketahui bahwa ragam harapan tersebut merupakan ekstensi dari nafsu keinginan (ta?h?).
Untuk mewujudkan keinginan tersebut ditumbuhkan sebuah upaya yang nyata. Apa pun upaya yang digunakan hendaknya tetap tidak mengesampingkan kebajikan, dalam arti tidak dengan membenarkan segala cara. Cara-cara yang baik menuntun pada kemajuan, dan keburukan hanya akan membawa pada kemerosotan. Sang Buddha, dalam percakapan-Nya dengan sesosok dewa perihal faktor-faktor penyebab keruntuhan spiritual, menyampaikan bahwa barangsiapa yang mencintai Dhamma akan memperoleh kemajuan dan yang membenci Dhamma akan mendapat keruntuhan (Parabhava Sutta). Mencintai Dhamma artinya menjadikan Dhamma sebagai pedoman laku hidup. Menjadikan Dhamma sebagai tuntunan dalam mewujudkan segala macam harapan dalam hidup. Sebaliknya seseorang yang bertindak serampangan, menghalalkan segala cara, membenarkan perbuatan buruk untuk mendapatkan segala keinginannya adalah berarti tidak mengindahkan atau menjadikan Dhamma sebagai pedoman.
Untuk memperoleh kebahagiaan di kehidupan ini, dalam D?ghaj??u Sutta, Sang Buddha menunjukkan faktor-faktor Dhamma yang harus dilakukan, yaitu memiliki ketekunan (u??h?nasampad?), kesek-samaan (?rakkhasampad?), sahabat yang baik (kaly??amittat?), dan hidup selaras atau seimbang (samaj?vit?). Masih dalam khotbah yang sama Sang Buddha juga menunjukkan faktor-faktor Dhamma yang menuntun pada kebahagiaan dalam kehidupan mendatang, yaitu memiliki keyakinan (saddh?sampad?), kemoralan (s?lasampad?), kedermawanan (c?gasampad?), dan kebijaksanaan (pa?sampad?). Inilah delapan faktor Dhamma (kondisi) yang membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan saat ini dan yang akan datang.
Hidup ini amatlah berharga, sangat singkat. Maka, berbuatlah yang baik dalam kehidupan ini juga, penuh semangat dan tidak lalai agar kehidupan yang sedang kita jalankan penuh manfaat, penuh makna, sehingga apa yang baik sesuai dengan Dhamma benar-benar memberikan rasa aman di alam ini dan aman di alam kehidupan selanjutnya.
Daftar pustaka:
-https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/parabhava-sutta/
diakses 12 Desember 2018.
-https://legacy.suttacentral.net/id/an8.54 diakses 12 Desember 2018.
Oleh: Bhikkhu Senajayo
Minggu, 16 Desember 2018